MAKALAH SINTESIS
SENYAWA ANORGANIK
Sintesis LiNi1-yCoyO2 menggunakan Metode Solid State (Padat-Padat)
Disusun oleh:
1.
Reza Bakhtiar 1409.100.009
2.
Ferina Aulia 1409.100.707
3.
Rizak Gitami Sativa 1410.100.007
4.
Ginaris Prio U. 1410.100.015
5.
Zahidatul Mustabsyiroh 1410.100.025
6.
Prasiska Eviati 1410.100.033
7.
Hendra Siswanto K. 1410.100.043
8.
Anggita Rara K.M. 1410.100.051
9.
Achmad Fahmi Y. 1410.100.058
10. Hamdan Dwi R. 1410.100.065
11. Iva Amelia V. 1410.100.075
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH
NOPEMBER
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Senyawa anorganik banyak
disintesis dengan beberapa metode, yaitu metode hidrotermal, sol-gel,
kopresipitasi, dan solid-state. Metode solid-state memiliki beberapa
keuntungan, yaitu tidak memerlukan banyak prekursor dan metodenya sederhana.
Pada metode solid state, prekursor yang digunakan berwujud padatan dan biasanya
menggunakan suhu yang relatif tinggi.
Salah satu penggunaan
metode solid state yaitu untuk sintesis oksida logam transisisi. Oksida logam
transisi yang telah diidentifikasi sebagai katoda dalam baterai lithium
sekunder adalah LiCoO2, LiNiO2, dan LiMn2O4.
Namun, material-material tersebut masih memiliki banyak kekurangan yaitu mahal
dan tidak dapat didaur ulang. Oleh karena itu, dibuat material
gabungan antara LiCoO2 dan LiNiO2 menjadi LiNi1-yCoyO2
karena dapat meningkatkan kinerja sel dengan menurunkan jumlah ion nikel
yang menghambat difusi lithium.
Pada percobaan sebelumnya,
LiNi1-yCoyO2 disintesis dari prekursor LiOH∙H2O,
NiO, dan Co3O4 dengan metode solid state. Dengan
menggunakan prekursor tersebut, ukuran partikel yang dihasilkan cukup besar dan
kinerja daur ulangnya cukup baik. Percobaan yang lain dengan sintesis senyawa
Li1,1Ni0,8Co0,2O2 pada fasa
non-stoikiometri dengan menggunakan asam oksalat sebagai agen pengkhelat metode
sol gel menunjukkan hasil yang bagus dari karakteristik elektrokimia dengan
melepaskan kapasitas 182mAh/g.
Pada percobaan ini,
material katoda LiNi1-yCoyO2 (y = 0.1, 0.3,
dan 0.5) disintesis dari prekursor Li2CO3, NiO, dan Co3O4
dengan metode solid state pada temperatur yang berbeda.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan maka permasalahan yang akan dikaji dalam makalah
ini adalah bagaimana sintesis LiNi1-yCoyO2 dari
prekursor Li2CO3, NiO, dan Co3O4
dengan metode solid state dan apa sajakah aplikasinya.
1.3 Tujuan
Tujuan dilakukannya
percobaan ini adalah untuk sintesis LiNi1-yCoyO2 dari
prekursor Li2CO3, NiO, dan Co3O4 dengan
metode solid state dan mengetahui aplikasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sintesis Kimia Padat (Solid State)
Reaksi kimia keadaan padat merupakan salah satu teknik yang
secara luas telah digunakan dalam penyediaan padatan polikristalin, dimana padatan
kristalin disintesis secara langsung dari pereaksi-pereaksinya yang berwujud
padat. Teknik ini biasanya menggunakan suhu yang tinggi bahkan mencapai 1000
hingga 1500°C. Suhu ini dipilih karena dalam kenyataannya padatan-padatan tidak
akan bereaksi pada suhu kamar, sementara pada suhu tinggi, laju reaksi
padatan-padatan itu akan cukup tinggi.
2.2 Tipe-tipe Material Padat
Teknik sintesis padatan terkait erat dengan bentuk produk
yang diinginkan. Beberapa bentuk yang dapat diadopsi oleh padatan dan kegunaan
bentuk itu dijelaskan sebagai berikut:
·
Kristal
tunggal: bentuk ini biasanya dipilih untuk keperluan karakterisasi struktur dan
sifat.
·
Serbuk
polikristalin (kristalinitas tinggi): serbuk polikristalin sering digunakan
untuk karakterisasi struktur dan sifat bila kristal tunggal tidak mungkin
didapatkan. Tipe serbuk ini juga disukai untuk produksi di industri maupun
dalam aplikasi tertentu.
·
Serbuk
polikristalin (dengan luas permukaan besar): serbuk ini diinginkan untuk reaksi
lebih lanjut dan aplikasi tertentu seperti katalisis dan bahan elektroda.
·
Amorf
(gelas): amorf tidak memiliki keteraturan translasi berorde panjang dan umumnya
digunakan untuk aplikasi yang memerlukan keunggulan sifat optis dan konduktor
ionik.
·
Film-tipis:
film tipis digunakan secara luas dalam mikroelektronik dan telekomunikasi
(Ismunandar, 2006)
2.3 Keuntungan dan
Kekurangan Metode Solid State
Reaksi pada kondisi padat dilakukan pada temperature tinggi
memilik keuntungan antara lain kristal yang dihasilkan memiliki kemurnian dan kristalinitas yang baik. Tetapi hasil
sintesis yang diperoleh pada metode ini menghasilkan partikel dengan ukuran besar dan morfologi tidak teratur.
2.4 Pengertian Kalsinasi
Kalsinasi adalah proses penghilangan air, karbon dioksida
atau gas lain yangmempunyai ikatan kimia dengan bijih. Contoh; Hidrat,
karbonat. Proses inidilakukan pada temperatur tinggi namun bijih itu tidak
mengalami leleh, pada proses ini juga tidak terjadi penambahan reagen.
Kalsinasi adalah proses endotermik artinya memerlukan panas, dan juga lebih
endotermik daripada proses Drying. Kalsinasi adalah proses yang endotermik,
yaitu memerlukan panas hal inidapat dilihat dari nilai ΔHo yang
postif. Panas diperlukan untuk melepas ikatan kimia dari air kristal karena
dengan panas maka ikatan kimia akan menjadi renggang dan pada temperatur
tertentu atom- atom yang berikatan akan bergerak sangat bebas menyebabkan
terputusnya ikatan kimia.
Penentuan dari suhu kasinasi dapat dilakukan dengan analisa termal
senyawa menggunakan instrument DTA dan TGA.
a.
TGA
(Analisis Termogravimetri)
Analisis termogravimetri merupakan analisis termal pertama
yang digunakan untuk mengetahui karakterisasi suatu material baru. TGA
memberikan informasi mengenai komponen dari material dan stabilitas oksidatif
(dekomposisi dalam keadaan inert dan oksidasi pada kondisi atmosfer). Analisis
termogravimetri merupakan teknik dimana massa dari suatu sampel diukur dengan
perubahan waktu atau suhu dan perubahan suhu tetap dalam kondisi atmosfer. Metode
ini sangat berguna untuk menganalisa kemurnian sampel, kandungan air, karbonat
dan kandungan organik untuk mempelajari reaksi dekomposisi (McMahon, 2007).
Instrumen TGA sangat sensitif untuk mengukur perubahan massa
suatu sampel yang dipanaskan pada ruang dengan suhu sekitar 1000°C atau lebih.
Termokopel diletakkan sangat dekat dengan sampel untuk merekam secara
berkelanjutan terhadap suhu sebagai perubahan massa yang terjadi. Sampel
dipanaskan dengan gas inert seperti nitrogen dan helium, tetapi udara atau
oksigen juga dapat digunakan ketika dilakukan pengukuran stabilitas oksidatif.
Banyaknya perubahan massa yang terjadi merupakan hilangnya massa karena proses
volatilisasi atau dekomposisi. Instrumen TGA didesain dengan adanya kontrol
kelembaban sehingga kecepatan dari absorpsi dan desorpsi dapat diukur sebagai
fungsi waktu, temperatur, dan kelembaban relatif.
Instrumen TGA memiliki kelemahan yaitu kesulitan pengukuran
kuantitatif terhadap perubahan massa. Hal ini dikarenakan hilangnya massa
karena suhu dapat terjadi pada hilangnya massa pada sampel yang akan dianalisis
selain komponen yang bersifat volatil. Perubahan suhu dan kecepatan yang lambat
dapat mereduksi sampel, meskipun kecepatan pemanasan yang rendah dapat
meningkatkan produktifitas reduksi. Kurva perubahan resultan dari massa dengan
pengaruh suhu disebut kurva termografimetrik (TG) (Nielsen, 2010).
Gambar II.1 Data Analisis Termogravimetri
b.
Thermogravimetric Analysis (TGA)
Thermogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat
dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu. Hasilnya biasanya
berupa rekaman diagram yang kontinu; reaksi dekomposisi satu tahap yang
skematik diperlihatkan pada Gambar 1. sampel yang digunakan, dengan berat
beberapa miligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1 – 20°C/menit,
mempertahan berat awalnya , Wi, sampai mulai terdekomposisi pada suhu Ti. Pada
kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range suhu tertentu,
Ti – Tf, dan daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tf, yang
berhubungan harga berat residu Wf. Berat Wi, Wf, dan ΔW adalah harga-harga yang
sangat penting dan dapat digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan
komposisinya, dll. Bertolak belakang dengan berat, harga Ti dan Tf, merupakan
harga yang bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan, sifat dari
padatan (ukurannya) dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini dapat
sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1 untuk dekomposisi CaCO3;
pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~ 500°C, namun dalam CO2
tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung hingga suhu di
atas 900°C. Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan nilai yang sangat bergantung
pada kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu dekomposisi pada
equilibrium.
2.6 Aplikasi
Padatan
Baterai lithium lazim digunakan dalam berbagai perangkat elektronik
seperti ponsel, MP3 player, laptop, dll.. Baterai ini bisa diisi ulang dan
memiliki kepadatan energi yang tinggi dibandingkan jenis baterai lain disamping
bobotnya yang lebih ringan. Baterai lithium memiliki kemampuan penyimpanan
energi tinggi per satuan volume. Energi yang tersimpan merupakan jenis energi
elektrokimia. Energi elektrokimia merupakan jenis energi listrik yang berasal
dari reaksi kimia yang dalam hal ini terjadi di dalam baterai.
Gambar
2.2 Baterai Lithium
Cara Kerja
Sel Elektrokimia
Agar bisa berfungsi, setiap sel elektrokimia harus memiliki dua elemen
penting yaitu elektroda dan elektrolit. Elektroda terdiri dari dua jenis yaitu
anoda dan katoda yang menghantarkan energi listrik (ion). Anoda dihubungkan ke
terminal negatif baterai sementara katoda dihubungkan ke terminal positif
baterai. Elektroda terendam dalam elektrolit yang bertindak sebagai medium cair
untuk pergerakan ion. Elektrolit juga bertindak sebagai buffer dan berfungsi
membantu reaksi elektrokimia dalam baterai.Pergerakan elektron dalam elektrolit
dan di antara elektroda akan menghasilkan arus listrik.
Cara Kerja
Baterai Lithium-Ion
Anoda dan katoda baterai lithium-ion terbuat dari karbon dan oksida
lithium. Sedangkan elektrolit terbuat dari garam lithium yang dilarutkan dalam
pelarut organik. Bahan pembuat anoda sebagian besar merupakan grafit sedangkan
katoda terbuat dari salah satu bahan berikut: lithium kobalt oksida (LiCoO2),
lithium besi fosfat (LiFePO4), atau lithium oksida mangan (LiMn2O4).
Elektrolit yang umum digunakan adalah garam lithium seperti lithium
hexafluorophosphate (LiPF6), lithium tetrafluoroborate (LiBF4),
dan lithium perklorat (LiClO4) yang dilarutkan dalam pelarut organik
seperti etilen karbonat, dimetil karbonat, dan dietil karbonat. Elektrolit yang
digunakan bersifat tidak larut dalam air karena lithium (logam alkali yang
sangat reaktif) bereaksi dengan air membentuk hidroksida lithium dan gas
hidrogen yang tidak diinginkan.
Selama
pengisian (charging), ion lithium dari katoda berpindah ke anoda dan menetap di
lapisan anoda. Pada proses ini, ion lithium mengalir melalui elektrolit. Selama
proses pemakaian, ion lithium bergerak kembali ke katoda dari anoda. Setelah
baterai dipakai, elektron mengalir berlawanan dengan arah ion lithium di
sirkuit luar. Karena terjadinya pergerakan elektron, maka arus listrik bisa dihasilkan.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Prosedur Percobaan
Sintesis LiNi1-yCoyO2
dilakukan dengan menggunakan metode solid state dimana prekursor yang digunakan
antara lain: Li2CO3 (Pure analyt, kemurnian 99%), NiO
(Pure analyt, kemurnian 99,9%) dan Co3O4 (Pure analyt,
kemurnian 99,9%).
Dalam penelitian ini ketiga prekursor penyusun LiNi1-yCoyO2
dengan komposisi y= 0,1; 0,3; dan 0,5. Ketiga prekursor
dicampurkan dan di pelet. Pelet yang terbentuk di panaskan pada suhu 650°C
selama 20 jam. Selanjutnya dihaluskan dan dipelet lagi kemudian dikalsinasi
pada suhu 800-850°C selama 20 jam. Pelet yang telah dikalsin didinginkan dengan
laju pendinginan 50°C /menit. Setelah dingin pelet di gerus lagi dan dipelet
lagi. Selanjutnya dilakukan kalsinasi lagi untuk yang kedua kalinya pada suhu
800-850°C selama 20 jam lagi.
Identifikasi fase hasil sintesis dilakukan dengan instrumentasi
XRD dengan radiasi Cu Kα menggunakan difraktometer Rigaku type III/A X-ray.
Scaning dilakukan dengan kecepatan scaning 4°/menit dan sudut difraksi yang
digunakan 10°≤2θ≤70°. Morfologi sampel diamati dengan menggunakan instrumentasi
FE-SEM.
Selanjutnya dibuat sel elektrokimia dengan LiNi1-yCoyO2
sebagai katoda, Li foil sebagai anoda dan elektrolit. Preparasi dilakukan
dengan melarutkan 1 M LiPF6 dalam campuran etilen karbonat (EC) dan dimetil
karbonat (DMC) denan perbandingan volume 1:1. Tes elektrokimia dilakukan pada
suhu kamar denganmetode potensiostatik / galvanostatik. Sel yang
digunakan dialiri arus 200 mA/cm2 per
siklus denan tegangan antara 3.2 dan 4.3
V.
3.2 Skema Kerja
Dipanaskan pada
suhu 650°C, 20 jam
|
Dikalsinasi
pertama pada suhu 800-850°C selama 20 jam
|
Dikalsinasi
kedua pada suhu 800-850°C selama 20 jam
|
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini
dilakukan sintesis padatan LiNi1-yCoO2 (y= 0.1, 0.3, dan
0.5) menggunakan prekursor Li2CO3, NiO dan Co3O4
menggunakan metode solid state (padat-padat). Ketiga padatan dikalsinasi pada
suhu 800°C dan 850°C selama 20 jam dan 40 jam. Kedua padatan yang dikalsinasi
pada suhu 800°C dan 850°C memiliki struktur a-NaFeO2 dengan sistem
rhombohedral. Hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-X (XRD)
dan SEM. Hasil XRD untuk padatan LiNi1-yCoO2 (y= 0.1,
0.3, dan 0.5) yang dikalsinasi pada suhu 800°C selama 20 jam ditunjukkan pada
gambar 1 sedangkan gambar 2 merupakan hasil XRD untuk padatan LiNi1-yCoO2
(y= 0.1, 0.3, dan 0.5) yang dikalsinasi pada suhu 800°C selama 40 jam.
Berdasarkan difaktogram
pada gambar 1 didapatkan dua puncak tajam pada sudut difraksi 2θ= 18° dan 45°.
Diduga puncak tersebut adalah puncak milik LiNi1-yCoO2.
Terdapat pula puncak pengotor yang muncul pada sudut difraksi 2θ= 21° dan 32°
yang diidentifikasikan sebagai puncak dari fase Li2CO3.
Pola XRD pada gambar 2 juga menunjukkan puncak tajam pada 2θ= 18° dan 45° serta
puncak dari fase pengotor Li2CO3 pada 2θ= 21° dan 32°.
Jika dibandingkan dari kedua difaktogram pada gambar 1 dan gambar 2 diketahui
bahwa puncak dari fase LiNi1-yCoO2 (y= 0.1, 0.3, dan 0.5)
memiliki intensitas yang semakin tajam sedangkan puncak dari fase Li2CO3
semakin berkurang. Seiring lamanya waktu kalsinasi maka kandungan
Co semakin meningkat sehingga intensitas dari fase LiNi1-yCoO2
(y= 0.1, 0.3, dan 0.5) semakin tajam sedangkan intensitas dari puncak fase Li2CO3
semakin berkurang. Variasi nilai y juga mempengaruhi profil difaktogram
hasil XRD dimana intensitas dari puncak fase Li2CO3 semakin
berkurang dengan meningkatnya nilai y sehingga difaktogram untuk sampel LiNi0.5Co0.5O2
yang mengandung fase pengotor paling sedikit.
Gambar
4.1 Pola XRD untuk
padatan LiNi1-yCoO2 (y= 0.1, 0.3, dan 0.5) hasil
kalsinasi pada 800°C selama 20 jam
|
Gambar 4.2 Pola XRD untuk padatan
LiNi1-yCoO2 (y= 0.1, 0.3, dan 0.5) hasil kalsinasi
pada 800°C selama 40 jam
|
Morales ,dkk telah melaporkan rasio intensitas dari puncak
003 dan 104, I003/I104 untuk stoikhiometri
lengkap dari komposisi LiNiO2 yang bernilai 1.3. Ohzuku, dkk
melaporkan bahwa rasio intensitas puncak 003 dan 104 merupakan parameter kunci
untuk derajat pergantian ion nikel dan litium. Dengan meningkatnya rasio
intensitas dari puncak 003 dan 104, maka derajat pergantian ion nikel dan
litium akan menurun. Mereka juga melaporkan bahwa elektroaktif dari LiNiO2
menunjukkan split yang jelas pada garis 108 dan 110, dimana split tersebut
muncul pada pola XRD pada sudut difraksi sekitar 2θ= 65°.
Pola XRD untuk padatan LiNi1-yCoO2
(y= 0.1, 0.3, dan 0.5) yang
dikalsinasi pada suhu 850°C selama 20 dan 40 jam menunjukkan pola difaktogram
yang hampir sama seperti pada gambar 1 dan 2. Muncul puncak pada sudut difraksi
2θ= 18° dan 45° yang merupakan puncak
milik fase LiNi1-yCoO2 (y= 0.1, 0.3, dan 0.5) dan puncak pada 2θ= 21° dan 32° yang merupakan puncak fase Li2CO3.
Semakin lama suhu kalsinasi maka kandungan Co dalam padatan tersebut semakin
banyak sehingga intensitas dari fase LiNi1-yCoO2
(y= 0.1, 0.3, dan 0.5) semakin tajam sedangkan intensitas pengotor semakin
berkurang.
Mikrograf dari hasil SEM untuk padatan LiNi1-yCoO2
(y= 0.1, 0.3, dan 0.5) yang
dikalsinasi pada suhu 800°C selama 20 jam menunjukkan bahwa sampel terdiri dari
partikel yang kecil dan lebar. Perbedaan ukuran partikel antara partiekl yang
kecil dan yang lebar sangatlah luas. Padatan memiliki bentuk yang tidak
seragam. Beberapa partikel mengalami aglomerasi dengan partikel yang kecil.
Padatan -yCoO2 (y= 0.1, 0.3, dan 0.5) yang dikalsinasi pada suhu 800°C selama
40 jam juga dikarakterisasi menggunakan SEM. Hasil mikrograf menunjukkan juga
bahwa sampel terdiri dari partikel yang kecil dan lebar. Ukuran partikel dari
partikel yang lebar menjadi semakin lebar dengan dengan meningkatnya kandungan
Co dari y= 0,1 ke y= 0,3 dan kemudian mengalami penurunan dari y= 0,3 ke y=
0,5. LiNi0,7Co0,3O2 memiliki ukuran partiekl yang terlebar, diikuti oleh LiNi0,9Co0,1O2.
Pengujian
Kapasitas Muatan
Untuk mengetahui
kapasitas muatan yang dapat tersimpan dalam senyawa LiNi1-yCoyO2
(y=0,1;0,3 dan 0,5) maka dilakukan pengujian kapasitas muatan dengan sistem
potensiostatik dan galvanostatik. Sistem potensiometrik merupakan cara untuk
mengetahui besar arus pada tegangan tetap. Potensial yang diberikan pada 3.2 dan 4.3 V. Sedangkan sistem galvanostatik
digunakan untuk mendapatkan nilai kapasitas sel pada arus tetap. Kapasitas
muatan dari elektroda dapat dihitung dengan rumus
C adalah
kapasitas sell dalam Farad (F), I adalah muatan yang mengalir dalam Ampere (A),
dan dV/dt muatan per waktu (Vs-1). Kapasitan muatan secara spesifik
dirumuskan
Dimana m adalah
berat elektroda pada material aktif. Faktor 2 merupakan total kapasitansi dari
sel yang digunakan yang setara dengan dua elektroda (Shaijumon, 2008).
Gambar variasi
kapasitas muatan pada 200mA/cm2 dengan jumlah siklus untuk LiNi1-yCoyO2
pada suhu 800°C (A) dan 850°C (B) selama 40 jam
Dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa LiNi1-yCoyO2
dengan y=0,3 memiliki kapasitas muatan yang lebih tinggi. Pada suhu 800°C LiNi0.5Co0.5O2
memiliki
kapasitas 149.2 mAh/g atau
1.4mAh/g/siklus. Perubahan kapasitas muatan pada y=0,5 selama siklus mengalami
penurunan yang lebih sedikit dibandingkan pada y=0,1 dan 0,3. Hal ini juga
ditemukan pada hasil kalsinasi dengan suhu 850°C LiNi0.5Co0.5O2 memiliki
kapasitas muatan yang paling tinggi. Jumlah siklus menyatakan berapa kali
senyawa tersebut dilakukan uji kapasitas muatan. Jumlah pengurangan kapasitas
muatan tiap siklus menyatakan bahwa senyawa tersebut lebih cocok untuk
dijadikan sebagai bahan penyusun baterai isi ulang karena energi yang hilang
lebih sedikit.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang berjudul sintesis litium nikel kobalt
oksida dari Li2CO3, NiO and Co3O4 dengan metode
reaksi padat-padat (reaksi solid state)
dapat ditarik kesimpulan bahwa LiNi1-yCoyO2 (y = 0.1, 0.3 dan 0.5) dapat disintesis melalui reaksi solid state pada 800° C
and 850 ° C dari Li2CO3, NiO serta Co3O4 menghasilkan LiNi1-yCoyO2. Lamanya waktu kalsinasi dan suhu kalsinasi mempengaruhi puncak dari
difaktogram XRD dan morfologi dari SEM. LiNi-1yCoyO2
yang dikalsinasi pada suhu 800 ° C selama 40 jam
memiliki cycling performance paling
baik yaitu 1.4 mAh/g/putaran siklus dan kapasitas muatan besar yaitu 147.6 mAh.